Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)
Acquired
Immunodeficiency Syndrome atau Acquired
Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan
gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV, atau infeksi
virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).
Virusnya
sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan
menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun
penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun
penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan
virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan
kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang
mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan
vagina, cairan preseminal, dan air susu
ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan
intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi
darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan
bayi selama kehamilan,
bersalin, atau menyusui,
serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Para ilmuwan
umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika
Sub-Sahara. Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit.
AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia. Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama
dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah
menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada
tanggal 5 Juni
1981. Dengan
demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam
sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta
jiwa pada tahun 2005
saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak. Sepertiga dari
jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat
pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana.
Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi
tingkat kematian
dan parahnya
infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua Negara.
Hukuman
sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan
dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang hukuman sosial
tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang
terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).
1.
Gejala-gejala
utama AIDS.
Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada
orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi
tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh
unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS.[7] HIV memengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker
seperti sarkoma
Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.
Biasanya
penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari),
pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan.[8][9] Infeksi oportunistik tertentu yang
diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi
tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.
2.
Penyakit paru-paru utama
Pneumonia pneumocystis (PCP)[10] jarang dijumpai
pada orang sehat yang memiliki kekebalan
tubuh yang
baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV.
Penyebab penyakit ini adalah fungi Pneumocystis jirovecii.
Sebelum adanya diagnosis, perawatan, dan tindakan
pencegahan
rutin yang efektif di negara-negara Barat, penyakit ini umumnya segera
menyebabkan kematian. Di negara-negara berkembang, penyakit ini masih merupakan
indikasi pertama AIDS pada orang-orang yang belum dites, walaupun umumnya
indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah CD4 kurang dari 200 per µL.[11]
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di
antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada
orang yang sehat (imunokompeten) melalui rute pernapasan (respirasi). Ia dapat
dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi, dapat muncul pada stadium
awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan. Namun demikian,
resistensi TBC terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial pada penyakit
ini.
Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah
berkurang karena digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode
terbaru lainnya, namun tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara
berkembang tempat HIV paling banyak ditemukan. Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah
CD4 >300 sel per µL), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium
lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai penyakit sistemik yang menyerang
bagian tubuh lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya
bersifat tidak spesifik (konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu
tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV sering menyerang sumsum
tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan sistem
syaraf pusat.[12] Dengan demikian, gejala yang muncul
mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner.
3.
Penyakit saluran pencernaan utama
Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan
(esofagus), yaitu jalur makanan dari mulut ke lambung. Pada individu
yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus
sitomegalo).
Ia pun dapat disebabkan oleh mikobakteria, meskipun kasusnya langka.[13]
Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan
pada infeksi HIV dapat terjadi karena berbagai penyebab; antara lain infeksi
bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia
coli), serta
infeksi oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium avium complex, dan virus
sitomegalo
(CMV) yang merupakan penyebab kolitis).
Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari
obat-obatan yang digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping dari infeksi
utama (primer) dari HIV itu sendiri. Selain itu, diare dapat juga merupakan
efek samping dari antibiotik yang digunakan untuk menangani
bakteri diare (misalnya pada Clostridium difficile). Pada stadium akhir infeksi HIV,
diare diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan cara saluran pencernaan menyerap nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting
dalam sistem pembuangan yang berhubungan dengan HIV.[14]
4.
Penyakit syaraf dan kejiwaan utama
Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku
karena gangguan pada syaraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan
oleh infeksi organisma atas sistem syaraf yang telah menjadi rentan, atau
sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri.
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan
oleh parasit bersel-satu, yang disebut Toxoplasma gondii. Parasit
ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut (toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit
pada mata dan paru-paru.[15] Meningitis kriptokokal adalah
infeksi meninges (membran yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak
ditangani dapat mematikan.
Leukoensefalopati
multifokal progresif
adalah penyakit demielinasi, yaitu penyakit yang menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi serabut sel syaraf (akson), sehingga merusak penghantaran
impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus
JC, yang 70% populasinya terdapat di
tubuh manusia dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem
kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini
berkembang cepat (progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya
menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis.[16]
Kompleks demensia AIDS adalah penyakit penurunan kemampuan
mental (demensia) yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati metabolik) yang disebabkan oleh infeksi HIV;
dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan imun oleh makrofag dan mikroglia pada otak yang mengalami infeksi
HIV, sehingga mengeluarkan neurotoksin.[17] Kerusakan syaraf yang spesifik,
tampak dalam bentuk ketidaknormalan kognitif, perilaku, dan motorik, yang
muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi. Hal ini berhubungan dengan
keadaan rendahnya jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada
plasma darah. Angka kemunculannya (prevalensi) di negara-negara Barat adalah
sekitar 10-20%,[18]
namun di India hanya terjadi pada 1-2% pengidap infeksi HIV.[19][20] Perbedaan ini mungkin terjadi
karena adanya perbedaan subtipe HIV di India.
5.
Kanker dan tumor ganas (malignan)
Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang
lebih tinggi terhadap terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus
DNA penyebab mutasi
genetik; yaitu
terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV), dan virus papiloma manusia (HPV).[21][22]
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang
pasien yang terinfeksi HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda
homoseksual tahun 1981 adalah salah satu pertanda pertama
wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus herpes
Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik
keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru.
Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel
darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like
lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem
syaraf pusat primer,
lebih sering muncul pada pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali
merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus,
limfoma adalah tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr atau virus herpes Sarkoma Kaposi.
Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS.
Kanker ini disebabkan oleh virus
papiloma manusia.
Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya,
seperti limfoma
Hodgkin, kanker usus besar bawah (rectum), dan kanker anus. Namun demikian, banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker payudara dan kanker
usus besar
(colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi HIV. Di
tempat-tempat dilakukannya terapi
antiretrovirus yang sangat aktif (HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker
yang berhubungan dengan AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian
menjadi penyebab kematian yang paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.[23]
6. Infeksi oportunistik lainnya
Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan
gejala tidak spesifik, terutama demam
ringan dan
kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan virus
sitomegalo.
Virus sitomegalo dapat menyebabkan gangguan radang pada usus besar (kolitis)
seperti yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang pada retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan kebutaan.
Infeksi yang disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi oportunistik ketiga yang paling umum
(setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di
daerah endemik Asia
Tenggara.[24]
7. Penyebab
HIV yang baru memperbanyak diri tampak bermunculan sebagai
bulatan-bulatan kecil (diwarnai hijau) pada permukaan limfosit setelah menyerang sel tersebut;
dilihat dengan mikroskop elektron.
AIDS merupakan bentuk terparah atas akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ
vital sistem kekebalan manusia, seperti sel
T CD4+
(sejenis sel T), makrofaga, dan sel
dendritik. HIV
merusak sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T
CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik.
Bila HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga
kurang dari 200 per mikroliter (µL) darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS.
Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul
gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan
memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi
tertentu.
Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata lamanya perkembangan infeksi HIV
menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup
setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan.[25] Namun demikian, laju perkembangan
penyakit ini pada setiap orang sangat bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai
20 tahun. Banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh
untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang
terinfeksi.[26][27] Orang tua umumnya memiliki
kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih
berisiko mengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang terhadap
perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis, juga dapat mempercepat
perkembangan penyakit ini.[25][28][29] Warisan
genetik orang
yang terinfeksi juga memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal secara alami
terhadap beberapa varian HIV. [30] HIV memiliki beberapa variasi
genetik dan berbagai bentuk yang berbeda, yang akan menyebabkan laju
perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula.[31][32][33] Terapi antiretrovirus yang sangat
aktif akan dapat memperpanjang rata-rata waktu berkembangannya AIDS, serta
rata-rata waktu kemampuan penderita bertahan hidup.
·
Penularan
seksual
Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada
kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan
rektum, alat kelamin, atau membran
mukosa mulut
pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada
hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih
besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak
berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun
insertif.[34]
Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena
pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap
rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.[35]
Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV
karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan
epitel normal
akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena
adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada semen dan sekresi vaginal.
Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika
Utara
menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi
AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga meningkat
secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual
seperti kencing
nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal
limfosit dan makrofaga.[36]
Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan
dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan
penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan
antarorang. Beban
virus plasma
yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada
air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV
plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV.[36][37] Wanita lebih rentan terhadap
infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal,
dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual.[38][39] Orang yang terinfeksi dengan HIV
masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.
·
Kontaminasi
patogen melalui darah
Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna
obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi
oleh organisme biologis penyebab penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko
utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis
B dan hepatitis
C. Berbagi penggunaan jarum suntik
merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi
hepatitis C di Amerika
Utara, Republik Rakyat Cina, dan Eropa
Timur. Resiko
terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang
terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih
jauh mengurangi risiko itu.[40]
Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan
lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat
juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima rajah dan tindik
tubuh. Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi baik di
Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang
tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub
Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak
aman.[41] Oleh sebab itu, Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa,
didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di
dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui
fasilitas kesehatan.[42]
Resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat
kecil di negara maju. Di negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan
pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak
memiliki akses terhadap darah yang aman dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV
dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi".[43]
·
Penularan
masa perinatal
Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in
utero) selama
masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat
persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama
kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu
memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%.[44] Sejumlah faktor dapat memengaruhi
risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi
beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan risiko penularan
sebesar 4%.[45]
8. Diagnosis
Sejak tanggal 5
Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk
pengawasan epidemiologi AIDS, seperti definisi Bangui dan definisi
World Health Organization tentang AIDS tahun 1994. Namun demikian, kedua sistem
tersebut sebenarnya ditujukan untuk pemantauan epidemi dan bukan untuk
penentuan tahapan klinis pasien, karena definisi yang digunakan tidak sensitif
ataupun spesifik. Di negara-negara berkembang, sistem World Health Organization untuk infeksi HIV digunakan dengan
memakai data klinis dan laboratorium; sementara di negara-negara maju digunakan
sistem klasifikasi Centers for Disease
Control (CDC)
Amerika Serikat.
9. Sistem tahapan infeksi WHO
Grafik hubungan antara jumlah HIV dan jumlah CD4+
pada rata-rata infeksi HIV yang tidak ditangani. Keadaan penyakit dapat
bervariasi tiap orang.
jumlah limfosit T CD4+ (sel/mm³)
jumlah RNA HIV per mL plasma
Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai
infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang
terinfeksi dengan HIV-1.[46]
Sistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005. Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi oportunistik yang dengan mudah ditangani pada
orang sehat.
- Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS
- Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran pernafasan atas yang berulang
- Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.
- Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.
10. Sistem klasifikasi CDC
Terdapat dua definisi tentang AIDS, yang keduanya
dikeluarkan oleh Centers for Disease
Control and Prevention
(CDC). Awalnya CDC tidak memiliki nama resmi untuk penyakit ini; sehingga AIDS
dirujuk dengan nama penyakit yang berhubungan dengannya, contohnya ialah limfadenopati. Para penemu HIV bahkan pada mulanya menamai AIDS dengan
nama virus tersebut.[47][48] CDC mulai menggunakan kata AIDS
pada bulan September tahun 1982, dan mendefinisikan penyakit ini.[49] Tahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS
mereka dengan memasukkan semua orang yang jumlah sel T CD4+ di bawah
200 per µL darah atau 14% dari seluruh limfositnya sebagai pengidap positif HIV.[50] Mayoritas kasus AIDS di negara maju
menggunakan kedua definisi tersebut, baik definisi CDC terakhir maupun
pra-1993. Diagnosis terhadap AIDS tetap dipertahankan, walaupun jumlah sel T
CD4+ meningkat di atas 200 per µL darah setelah perawatan ataupun penyakit-penyakit
tanda AIDS yang ada telah sembuh.
11. Tes HIV
Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus
HIV.[51]
Kurang dari 1% penduduk perkotaan di Afrika yang aktif secara seksual telah
menjalani tes HIV, dan persentasenya bahkan lebih sedikit lagi di pedesaan.
Selain itu, hanya 0,5% wanita mengandung di perkotaan yang mendatangi fasilitas
kesehatan umum memperoleh bimbingan tentang AIDS, menjalani pemeriksaan, atau
menerima hasil tes mereka. Angka ini bahkan lebih kecil lagi di fasilitas
kesehatan umum pedesaan.[51]
Dengan demikian, darah dari para pendonor dan produk darah yang digunakan
untuk pengobatan dan penelitian medis, harus selalu diperiksa kontaminasi
HIV-nya.
Tes
HIV umum, termasuk imunoasai enzim HIV dan pengujian Western blot, dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah kering, atau urin pasien. Namun demikian, periode
antara infeksi dan berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang dapat dideteksi
(window period) bagi setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya
mengapa dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk mengetahui serokonversi dan hasil positif tes. Terdapat
pula tes-tes komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang dapat digunakan untuk
mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya belum dapat
terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak disetujui secara khusus untuk
diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara
maju.
12. Pencegahan
Perkiraan
risiko masuknya HIV per aksi,
menurut rute paparan[52] |
||
Rute
paparan
|
Perkiraan
infeksi
per 10.000 paparan dengan sumber yang terinfeksi |
|
Transfusi
darah
|
9.000[53]
|
|
Persalinan
|
2.500[44]
|
|
Penggunaan
jarum suntik bersama-sama
|
67[54]
|
|
Hubungan
seks anal reseptif*
|
||
Jarum
pada kulit
|
30[57]
|
|
Hubungan
seksual reseptif*
|
||
Hubungan
seks anal insertif*
|
||
Hubungan
seksual insertif*
|
||
Seks
oral reseptif*
|
||
Seks
oral insertif*
|
||
* tanpa penggunaan kondom
§ sumber merujuk kepada seks oral yang dilakukan kepada laki-laki |
||
Tiga jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh
ialah melalui hubungan
seksual,
persentuhan (paparan) dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, serta
dari ibu ke janin atau bayi selama periode sekitar kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan pada
air liur, air
mata dan urin
orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus infeksi dikarenakan
cairan-cairan tersebut, dengan demikian risiko infeksinya secara umum dapat
diabaikan.[59]
·
Hubungan
seksual
Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan
seksual tanpa pelindung antarindividu yang salah satunya
terkena HIV. Hubungan heteroseksual adalah modus utama infeksi HIV di
dunia.[60]
Selama hubungan seksual, hanya kondom pria atau kondom wanita yang dapat
mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan penyakit seksual lainnya serta
kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini menunjukan bahwa penggunaan kondom
yang lazim mengurangi risiko penularan HIV sampai kira-kira 80% dalam jangka
panjang, walaupun manfaat ini lebih besar jika kondom digunakan dengan benar
dalam setiap kesempatan.[61] Kondom laki-laki berbahan lateks, jika digunakan dengan benar tanpa pelumas berbahan dasar minyak, adalah satu-satunya teknologi yang
paling efektif saat ini untuk mengurangi transmisi HIV secara seksual dan
penyakit menular seksual lainnya. Pihak produsen kondom menganjurkan bahwa
pelumas berbahan minyak seperti vaselin, mentega, dan lemak
babi tidak
digunakan dengan kondom lateks karena bahan-bahan tersebut dapat melarutkan
lateks dan membuat kondom berlubang. Jika diperlukan, pihak produsen
menyarankan menggunakan pelumas berbahan dasar air. Pelumas berbahan dasar minyak
digunakan dengan kondom poliuretan.[62]
Kondom
wanita adalah
alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan, yang memungkinkannya untuk
digunakan dengan pelumas berbahan dasar minyak. Kondom wanita lebih besar
daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung terbuka keras berbentuk
cincin, dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina. Kondom wanita memiliki cincin
bagian dalam yang membuat kondom tetap di dalam vagina — untuk memasukkan
kondom wanita, cincin ini harus ditekan. Kendalanya ialah bahwa kini kondom
wanita masih jarang tersedia dan harganya tidak terjangkau untuk sejumlah besar
wanita. Penelitian awal menunjukkan bahwa dengan tersedianya kondom wanita, hubungan seksual dengan pelindung secara keseluruhan
meningkat relatif terhadap hubungan seksual tanpa pelindung sehingga kondom
wanita merupakan strategi pencegahan HIV yang penting.[63]
Penelitian terhadap pasangan yang salah satunya terinfeksi
menunjukkan bahwa dengan penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV
terhadap pasangan yang belum terinfeksi adalah di bawah 1% per tahun.[64]
Strategi pencegahan telah dikenal dengan baik di negara-negara maju. Namun,
penelitian atas perilaku dan epidemiologis di Eropa dan Amerika
Utara
menunjukkan keberadaan kelompok minoritas anak muda yang tetap melakukan
kegiatan berisiko tinggi meskipun telah mengetahui tentang HIV/AIDS, sehingga
mengabaikan risiko yang mereka hadapi atas infeksi HIV.[65] Namun demikian, transmisi HIV
antarpengguna narkoba telah menurun, dan transmisi HIV oleh transfusi darah
menjadi cukup langka di negara-negara maju.
Pada bulan Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan uji acak terkendali mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan risiko infeksi
HIV pada pria heteroseksual Afrika sampai sekitar 50%. Diharapkan
pendekatan ini akan digalakkan di banyak negara yang terinfeksi HIV paling
parah, walaupun penerapannya akan berhadapan dengan sejumlah isu sehubungan
masalah kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat. Beberapa ahli
mengkhawatirkan bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada laki-laki
bersunat, dapat meningkatkan perilaku seksual berisiko sehingga mengurangi
dampak dari usaha pencegahan ini.[66]
Pemerintah Amerika Serikat dan berbagai organisasi kesehatan
menganjurkan Pendekatan ABC untuk menurunkan risiko terkena HIV melalui
hubungan seksual.[67]
Adapun rumusannya dalam bahasa
Indonesia:[68]
“
|
Anda jauhi seks,
Bersikap saling setia dengan pasangan, Cegah dengan kondom. |
”
|
·
Kontaminasi
cairan tubuh terinfeksi
Pekerja kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal,
seperti mengenakan sarung tangan lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci
tangan, dapat membantu mencegah infeksi HIV.
Semua organisasi pencegahan AIDS menyarankan pengguna
narkoba untuk tidak berbagi jarum dan bahan lainnya yang diperlukan untuk
mempersiapkan dan mengambil narkoba (termasuk alat suntik, kapas bola, sendok,
air pengencer obat, sedotan, dan lain-lain). Orang perlu menggunakan jarum yang
baru dan disterilisasi untuk tiap suntikan. Informasi tentang membersihkan
jarum menggunakan pemutih disediakan oleh fasilitas kesehatan dan program penukaran jarum. Di sejumlah negara maju, jarum
bersih terdapat gratis di sejumlah kota, di penukaran jarum atau tempat
penyuntikan yang aman. Banyak negara telah melegalkan kepemilikan jarum dan
mengijinkan pembelian perlengkapan penyuntikan dari apotek tanpa perlu resep
dokter.
·
Penularan
dari ibu ke anak
Penelitian menunjukkan bahwa obat antiretrovirus, bedah
caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi peluang penularan HIV dari ibu
ke anak (mother-to-child transmission, MTCT).[69]
Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah,
terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak
menyusui anak mereka. Namun demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat
terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan
pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera mungkin.[5]
Pada tahun 2005, sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV,
terutama melalui penularan ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di
Afrika.[70] Dari semua anak yang diduga kini
hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara.[5]
13. Penanganan
Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya yang
diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus
atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung setelah kontak
dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP).[40]
PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga
memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak badan, mual, dan lelah.[71]
14. Terapi antivirus
Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi
antiretrovirus yang sangat aktif (highly active antiretroviral therapy, disingkat
HAART).[72]
Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak
tahun 1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor.[6] Pilihan terbaik HAART saat ini,
berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut "koktail) yang terdiri
dari paling sedikit dua macam (atau "kelas") bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside
analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya
pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun
lebih agresif untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa.[73]
Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang dokter
akan mempertimbangkan kuantitas
beban virus,
kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu
memulai perawatan awal.[74]
Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia
(banyaknya jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak
menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat
yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah
perawatan dihentikan.[75][76] Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih
dari seumur hidup seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan
HAART.[77] Meskipun demikian, banyak pengidap
HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan kualitas hidup
mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV.[78][79][80] Tanpa perawatan HAART, berubahnya
infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan rata-rata (median) antara
sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit
AIDS hanyalah 9.2 bulan.[25] Penerapan HAART dianggap
meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun.[81][82] Bagi beberapa pasien lainnya, yang
jumlahnya mungkin lebih dari lima puluh persen, perawatan HAART memberikan
hasil jauh dari optimal. Hal ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan
tidak bisa ditolerir, terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan
infeksi HIV tertentu yang resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan
dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan
individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan HAART.[83]
Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk
penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial yang utama ialah kurangnya
akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan sosial, penyakit kejiwaan,
serta penyalahgunaan obat. Perawatan HAART juga kompleks, karena adanya beragam
kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis, pembatasan makan, dan lain-lain yang
harus dijalankan secara rutin .[84][85][86] Berbagai efek samping yang juga
menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan HAART, antara lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan
insulin,
peningkatan risiko sistem kardiovaskular, dan kelainan
bawaan pada bayi
yang dilahirkan.[87][88]
Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu
terinfeksi di dunia tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan
untuk HIV dan AIDS tersebut.[89]
15. Penanganan eksperimental dan saran
Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai
untuk menahan epidemik global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari
biaya pengobatan lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu mengadakannya
dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian.[89]
Namun setelah lebih dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang
sulit bagi vaksin.[89]
Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk
usaha mengurangi efek samping obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk
memudahkan pemakaian, dan penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk
menghadapi adanya resistensi obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa
langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika
menangani pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan B disarankan untuk pasien
yang belum terinfeksi virus ini dan dalam berisiko terinfeksi.[90]
Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang besar juga disarankan
mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia pneumosistis, demikian juga pasien toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis yang akan banyak pula mendapatkan
manfaat dari terapi propilaktik tersebut.[71]
16. Pengobatan alternatif
Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk
menangani gejala atau mengubah arah perkembangan penyakit.[91]
Akupunktur telah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala, misalnya
kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy) seperti kaki kram,
kesemutan atau nyeri; namun tidak menyembuhkan infeksi HIV.[92] Tes-tes uji acak klinis terhadap
efek obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa
tanaman-tanaman obat tersebut memiliki dampak pada perkembangan penyakit ini,
tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek samping negatif yang serius.[93]
Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin dan mineral kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit
HIV pada orang dewasa, meskipun tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat
kematian (mortalitas) akan berkurang pada orang-orang yang memiliki status
nutrisi yang baik.[94] Suplemen vitamin
A pada anak-anak kemungkinan juga
memiliki beberapa manfaat.[94] Pemakaian selenium dengan dosis rutin harian dapat
menurunkan beban tekanan virus HIV melalui terjadinya peningkatan pada jumlah
CD4. Selenium dapat digunakan sebagai terapi pendamping terhadap berbagai
penanganan antivirus yang standar, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk
menurunkan mortalitas dan morbiditas.[95]
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan
alteratif memiliki hanya sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas
penyakit ini, namun dapat meningkatkan kualitas hidup individu yang mengidap
AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari beragam terapi alternatif tersebut
sesungguhnya adalah manfaat paling penting dari pemakaiannya.[96]
Namun oleh penelitian yang mengungkapkan adanya simtoma hipotiroksinemia pada penderita AIDS yang terjangkit
virus HIV-1, beberapa pakar menyarankan terapi
dengan asupan hormon tiroksin.[97] Hormon tiroksin dikenal dapat meningkatkan laju metabolisme basal sel eukariota[98] dan memperbaiki gradien pH pada mitokondria.[99]
17. Epidemiologi
██ 15–50%
██ 5–15% ██ 1–5%
|
██ 0.5–1.0%
██ 0.1–0.5%
|
██ <0.1%
██ tidak ada data
|
UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih
dari 25 juta jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981, membuat AIDS sebagai salah satu
epidemik paling menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja, akses perawatan
antiretrovirus bertambah baik di banyak region di dunia, epidemik AIDS diklaim
bahwa diperkirakan 2,8 juta (antara 2,4 dan 3,3 juta) hidup di tahun 2005 dan lebih dari setengah juta
(570.000) merupakan anak-anak.[5] Secara global, antara 33,4 dan 46
juta orang kini hidup dengan HIV.[5] Pada tahun 2005, antara 3,4 dan 6,2
juta orang terinfeksi dan antara 2,4 dan 3,3 juta orang dengan AIDS meninggal
dunia, peningkatan dari 2003 dan jumlah terbesar sejak tahun 1981.[5]
Afrika
Sub-Sahara
tetap merupakan wilayah terburuk yang terinfeksi, dengan perkiraan 21,6 sampai
27,4 juta jiwa kini hidup dengan HIV. Dua juta [1,5&-3,0 juta] dari mereka
adalah anak-anak yang usianya lebih rendah dari 15 tahun. Lebih dari 64% dari
semua orang yang hidup dengan HIV ada di Afrika Sub Sahara, lebih dari tiga per
empat (76%) dari semua wanita hidup dengan HIV. Pada tahun 2005, terdapat 12.0 juta [10.6-13.6
juta] anak yatim/piatu AIDS hidup di Afrika Sub Sahara.[5]
Asia Selatan dan Asia
Tenggara adalah
terburuk kedua yang terinfeksi dengan besar 15%. 500.000 anak-anak mati di
region ini karena AIDS. Dua-tiga infeksi HIV/AIDS di Asia muncul di India, dengawn perkiraan 5.7 juta infeksi
(perkiraan 3.4 - 9.4 juta) (0.9% dari populasi), melewati perkiraan di Afrika
Selatan yang sebesar 5.5 juta (4.9-6.1 juta) (11.9% dari populasi) infeksi,
membuat negara ini dengan jumlah terbesar infeksi HIV di dunia.[100] Di 35 negara di Afrika dengan perataan terbesar, harapan hidup normal sebesar 48.3 tahun - 6.5 tahun sedikit daripada akan
menjadi tanpa penyakit.[101]
18. Sejarah
AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5
Juni 1981, ketika Centers for Disease
Control and Prevention
Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia pneumosistis (sekarang masih diklasifikasikan
sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii) pada lima laki-laki homoseksual di
Los Angeles.[102]
Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih mematikan dan lebih
mudah masuk kedalam tubuh. HIV-1 adalah sumber dari mayoritas infeksi HIV di
dunia, sementara HIV-2 sulit dimasukan dan kebanyakan berada di Afrika Barat.[103]
Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal dari simpanse Pan troglodytes troglodytes
yang ditemukan di Kamerun selatan.[104] HIV-2 berasal dari Sooty Mangabey (Cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau, Gabon, dan Kamerun.
Banyak ahli berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh
manusia akibat kontak dengan primata lainnya, contohnya selama berburu atau
pemotongan daging.[105]
Teori yang lebih kontroversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV AIDS, menyatakan bahwa epidemik AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an di Kongo
Belgia sebagai
akibat dari penelitian Hilary
Koprowski terhadap vaksin polio.[106][107] Namun demikian, komunitas ilmiah
umumnya berpendapat bahwa skenario tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti
yang ada.[108][109][110]
Stigma
Ryan
White sebagai
model poster HIV. Ia dikeluarkan dari sekolah dengan alasan terinfeksi HIV.
Hukuman sosial atau stigma oleh masyarakat di berbagai
belahan dunia terhadap pengidap AIDS terdapat dalam berbagai cara, antara lain
tindakan-tindakan pengasingan, penolakan, diskriminasi, dan penghindaran atas orang yang
diduga terinfeksi HIV; diwajibkannya uji coba HIV tanpa mendapat persetujuan
terlebih dahulu atau perlindungan kerahasiaannya; dan penerapan karantina
terhadap orang-orang yang terinfeksi HIV.[111] Kekerasan atau ketakutan atas
kekerasan, telah mencegah banyak orang untuk melakukan tes HIV, memeriksa
bagaimana hasil tes mereka, atau berusaha untuk memperoleh perawatan; sehingga
mungkin mengubah suatu sakit kronis yang dapat dikendalikan menjadi
"hukuman mati" dan menjadikan meluasnya penyebaran HIV.[112]
Stigma
AIDS lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori:
- Stigma instrumental AIDS - yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas hal-hal yang berhubungan dengan penyakit mematikan dan menular.[113]
- Stigma simbolis AIDS - yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan sikap terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap berhubungan dengan penyakit tersebut.[113]
- Stigma kesopanan AIDS - yaitu hukuman sosial atas orang yang berhubungan dengan isu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV.[114]
Stigma AIDS sering diekspresikan dalam satu atau lebih
stigma, terutama yang berhubungan dengan homoseksualitas, biseksualitas, pelacuran, dan penggunaan narkoba melalui
suntikan.
Di banyak negara
maju, terdapat
penghubungan antara AIDS dengan homoseksualitas atau biseksualitas, yang
berkorelasi dengan tingkat prasangka seksual yang lebih tinggi, misalnya
sikap-sikap anti homoseksual.[115]
Demikian pula terdapat anggapan adanya hubungan antara AIDS dengan hubungan
seksual antar laki-laki, termasuk bila hubungan terjadi antara pasangan yang
belum terinfeksi.[113]
19. Dampak ekonomi
Perubahan angka harapan hidup di beberapa negara di Afrika.
Botswana
Zimbabwe
Kenya
Afrika Selatan
Uganda
HIV dan AIDS memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan
menghancurkan jumlah manusia dengan kemampuan produksi (human capital).[5]
Tanpa nutrisi yang baik, fasilitas kesehatan dan obat yang ada di
negara-negara berkembang, orang di negara-negara tersebut menjadi korban AIDS.
Mereka tidak hanya tidak dapat bekerja, tetapi juga akan membutuhkan fasilitas
kesehatan yang memadai. Ramalan bahwa hal ini akan menyebabkan runtuhnya
ekonomi dan hubungan di daerah. Di daerah yang terinfeksi berat, epidemik telah
meninggalkan banyak anak yatim piatu yang dirawat oleh kakek dan neneknya yang
telah tua.[116]
Semakin tingginya tingkat kematian (mortalitas) di suatu
daerah akan menyebabkan mengecilnya populasi pekerja dan mereka yang
berketerampilan. Para pekerja yang lebih sedikit ini akan didominasi anak muda,
dengan pengetahuan dan pengalaman kerja yang lebih sedikit sehingga
produktivitas akan berkurang. Meningkatnya cuti pekerja untuk melihat anggota
keluarga yang sakit atau cuti karena sakit juga akan mengurangi produktivitas.
Mortalitas yang meningkat juga akan melemahkan mekanisme produksi dan investasi sumberdaya manusia (human
capital) pada masyarakat, yaitu akibat hilangnya pendapatan dan
meninggalnya para orang tua. Karena AIDS menyebabkan meninggalnya banyak orang
dewasa muda, ia melemahkan populasi pembayar pajak, mengurangi dana publik
seperti pendidikan dan fasilitas kesehatan lain yang tidak berhubungan dengan
AIDS. Ini memberikan tekanan pada keuangan negara dan memperlambat pertumbuhan
ekonomi. Efek melambatnya pertumbuhan jumlah wajib pajak akan semakin terasakan
bila terjadi peningkatan pengeluaran untuk penanganan orang sakit, pelatihan
(untuk menggantikan pekerja yang sakit), penggantian biaya sakit, serta
perawatan yatim piatu korban AIDS. Hal ini terutama mungkin sekali terjadi jika
peningkatan tajam mortalitas orang dewasa menyebabkan berpindahnya
tanggung-jawab dan penyalahan, dari keluarga kepada pemerintah, untuk menangani
para anak yatim piatu tersebut.[116]
Pada tingkat rumah tangga, AIDS menyebabkan hilangnya
pendapatan dan meningkatkan pengeluaran kesehatan oleh suatu rumah tangga.
Berkurangnya pendapatan menyebabkan berkurangnya pengeluaran, dan terdapat juga
efek pengalihan dari pengeluaran pendidikan menuju pengeluaran kesehatan dan
penguburan. Penelitian di Pantai
Gading
menunjukkan bahwa rumah tanggal dengan pasien HIV/AIDS mengeluarkan biaya dua
kali lebih banyak untuk perawatan medis daripada untuk pengeluaran rumah tangga
lainnya.[117]
20. Penyangkalan atas AIDS
Sekelompok kecil aktivis, diantaranya termasuk beberapa
ilmuwan yang tidak meneliti AIDS, mempertanyakan tentang adanya hubungan antara
HIV dan AIDS,[118]
keberadaan HIV itu sendiri,[119] serta kebenaran atas percobaan dan
metode perawatan yang digunakan untuk menanganinya. Klaim mereka telah
diperiksa dan secara luas ditolak oleh komunitas ilmiah,[120] walaupun terus saja disebarkan
melalui Internet dan sempat memiliki pengaruh politik di Afrika Selatan melalui mantan presiden Thabo
Mbeki, yang
menyebabkan pemerintahnya disalahkan atas respon yang tidak efektif terhadap
epidemik AIDS di negara tersebut.[121][122][123]

Comments
Post a Comment